RBN, Depok – Komunitas Bakul Budaya FIB UI menggelar acara syukuran HUT RI ke-79 dengan membuat tumpeng raksasa di Pelataran Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Sabtu 17 Agustus 2024.
Tumpeng berukuran besar ini terbuat dari nasi kuning setinggi 8 undak dengan disertai 17 macam masakan khas Nusantara, lalu disajikan dengan dikelilingi oleh 45 penari sambil menarikan tari Jejer Jaran Dawuk khas Banyuwangi. Nasi Tumpeng sendiri memiliki makna dan simbolisme yang dalam di budaya Jawa. Bentuk tumpeng yang kerucut melambangkan gunung yang suci, sehingga tumpeng dipercaya melambangkan kesuburan, keberkahan, dan keharmonisan.
Tari Jejer Jaran Dawuk yang dipentaskan mengelilingi tumpeng raksasa tersebut merupakam tari kreasi yang dicipta pada 1974 oleh salah seorang maestro tari Banyuwangi, Jawa Timur, mendiang Sutrisno Hadi (16 Agustus 1951-26 Desember 2020). Tari Jejer Jaran Dawuk berpatokan pada tari tradisional Gandrung dari daerah yang sama. Tari Gandrung, yang menjadi acuan Tari Jejer Jaran Dawuk, aslinya terdiri dari tiga bagian, yaiu Jejer, Paju atau Ngibing, dan Seblang Subuh. Durasi keseluruhan Tari Gandrung kurang-lebih tujuh jam, sedangkan Tari Jejer Jaran Dawuk hanya kira-kira tujuh menit.
Tari Gandrung yang asli merupakan warisan budaya abad ke-18 dari Suku Osing, Banyuwangi. Berbagai sumber menyebut bahwa Tari Gandrung muncul bersamaan dengan pembukaan Hutan Tirtogondo dan Hutan Tirtaarum untuk membangun ibu kota baru bagi Blambangan. Sebelumnya, ibu kotanya adalah Pangpang atau Ulu Pangpang. Pemindahan ibu kota tersebut diprakarsai oleh Tumenggung Wiroguno I atau Mas Alit, yang dilantik menjadi bupati pertama Banyuwangi pada 2 Februari 1774.
Situasi yang hampir mirip dengan kondisi saat ini, di mana Indonesia juga sedang melakukan proses pemindahan Ibukota dari Jakarta ke IKN Nusantara.
“Pemindahan ibukota merupakan hal yang biasa terjadi dalam kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia. Dalam hal wilayah Banyuwangi dan daerah tapal kuda di ujung timur Jawa, terdapat Kerajaan Blambangan, yang beberapa kali memindahkan ibukota, ketika ibukota lama dipandang tidak layak lagi. Perpindahan ibukota itu mengikuti perpindahan raja yang diibaratkan seperti ratu tawon. Konsep pemindahan ibukota dalam sejarah Blambangan dikenal dengan sebutan Nagari Tawon Madu. Raja atau ratu akan berpindah ke tempat baru ketika tempat lama tidak memenuhi syarat lagi untuk dijadikan ibukota“ , ujar Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia sekaligus Sejarawan Nasional Bondan Kanumoyoso. (Sumber: I Made Sudjana “Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad 18”, Bali: Larasan, 2001.)
“Perayaan 79 tahun kemerdekaan Indonesia di Bakul Budaya kali ini seperti menghadirkan sebuah cuplikan yang terjadi di masa lampau. Kalau tarian Gandrung di abad ke-18 muncul bersamaan dengan pembabatan Hutan Tirto Gondo atau Tirta Arum untuk membangun dan memindahkan ibukota dari Ulu Pangpang ke Blambangan, di hari kemerdekaan ke 79 tahun ini, Bakul Budaya menarikan Tari Jejer Jaran Dawuk di Pelataran FIB UI bersamaan dengan proses perpindahan ibukota negara dari Jakarta ke Ibukota Nusantara di Kalimantan. Seperti sebuah kebetulan, tari Jejer Jaran Dawuk karya Alm. Sumitro Hadi, seorang maestro tari asal Banyuwangi, dibawakan oleh 45 penari yang melambangkan tahun 1945, menghadap sebuah tumpeng setinggi hampir dua meter, melambangkan rasa syukur karena Indonesia masih ada sampai hari ini dan memanjatkan doa agar Indonesia dapat berjaya dan penuh kemakmuran“, ungkap Ketua Umum Bakul Budaya Dewi Fajar Marhaeni.