27.1 C
Jakarta

Adat Merapu, Jembatan Suka Dan Duka

Published:

RBN, Sumba – Tanggal 16 Agustus 2024 lalu, Tim Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat FIB UI yang beranggotakan Joanna Abigail, Cut Anasya Zahara, Naura Nevitha, Sadina Aimee Prasetya, dan Najwa ‘Dhya Ulhaq Utama Sihombing menghadiri acara pemakaman yang menggunakan adat Marapu, yang diadakan di Desa Ello, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Marapu merupakan suatu kepercayaan terhadap arwah leluhur yang telah meninggal. Adat Marapu ini adalah kebudayaan asli khas warga Sumba, yang sudah lama eksis dan diturunkan dari generasi ke generasi.

Adat Marapu di Sumba (foto oleh Cut Anasya Zahara)

Sebelum acara pemakaman, Tim Pengmas FIB UI yang didukung oleh DPPM UI ini, juga sempat mengunjungi rumah keluarga yang berduka pada tanggal 14/08/2024. Menurut Diah Kartini Lasman, M.Hum, dosen Prodi Prancis FIB UI yang meneliti budaya Sumba sekaligus Pengusul Utama Tim Pengmas FIB UI, warga Sumba masih menganut paham patrilineal. Rumah utama, yaitu rumah orangtua yang disebut sebagai Uma Kalada atau Rumah Besar adalah milik keturunan laki-laki. Para istri dari keturunan laki-laki ini adalah tuan rumah yang memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan sirih pinang kepada tamu yang datang.

Semuanya harus mengenakan pakaian adat Sumba; laki-laki memakai kain tenun Sumba yang diikatkan dengan pinggang dengan sebuah parang dan ikat kepala, sedangkan perempuan memakai sarung tenun Sumba. Tamu yang berdatangan membawa sarung tenun Sumba untuk diberikan pada keluarga yang berduka dan diletakkan di atas peti. Karena yang meninggal adalah perempuan, tamu yang datang akan membawakan sarung.

Uniknya, cara warga Sumba dalam memberi salam adalah dengan saling menempelkan hidung ke satu sama lain.

Baca juga:  Resep Bistik Ayam, Sajian Spesial Namun Praktis

Tim Pengmas FIB UI mendokumentasikan acara pemakaman pada tanggal 16/08/2024. Dimulai dari persiapan yang dilakukan oleh pihak keluarga yang berduka, biasanya keluarga akan memasang tenda dan kursi-kursi di halaman yang akan digunakan untuk tamu yang berdatangan. Kemudian, keluarga juga akan memasak makanan dalam jumlah yang besar untuk disuguhkan kepada tamu-tamu yang akan datang.

Beberapa tamu akan membawa hewan seperti babi dan kerbau sebagai bentuk persembahan. Persembahan tersebut dipercaya akan menemani arwah seseorang yang meninggal di Surga Marapu. Tamu yang datang membawa hewan persembahan akan menarikan tarian Ronggeng yang dilakukan oleh laki-laki sambil mengangkat parang, dan perempuan akan menarikan tarian penyambutan. Tarian tersebut diiringi nyanyian Pakalaka dan alat musik tradisional khas Sumba. Tuan rumah berbaris menyambut tamu dan memberikan sirih pinang sebagai tanda penghormatan.

Adat Marapu di Sumba (foto oleh Cut Anasya Zahara)

Setelah semua tamu yang akan membawa hewan persembahan sudah datang, hewan-hewan tersebut akan dikorbankan. Proses pengorbanan tersebut diiringi dengan tari-tarian, nyanyian Pakalaka, dan alat musik tradisional yang terus dimainkan selama berjalannya acara.

Setelah proses pengorbanan, diadakan ibadah misa singkat sebelum peti jenazah akan ditutup. Keluarga diberi kesempatan melihat jenazah untuk terakhir kalinya sebelum peti ditutup. Setelah itu, peti ditutup dan dikubur di kuburan atau Kubur Batu yang terletak di depan halaman rumah. Warga di Sumba masih menganut tradisi megalitikum, dan di Indonesia hanya ada 3 kebudayaan yang masih menganut tradisi tersebut: Nias, Toraja, dan Sumba.

Selesai penguburan, daging hewan-hewan yang dipersembahkan akan dipotong dan dibagikan kepada tamu yang sudah datang. Sebagian lagi akan disimpan untuk keluarga.

Meskipun suasananya sedang berduka, adat Marapu ini menjadi jembatan antara suka dan duka. Keluarga berduka karena salah satu anggotanya meninggal, tetapi keluarga juga bersuka karena undangan kepada para tamu diterima, banyak tamu yang berdatangan membawa hewan-hewan persembahan, juga gotong royong dengan warga sekitar dalam mempersiapkan acara. Terlaksananya adat Marapu ini menjadi simbol penghormatan bagi orang yang meninggal.

Baca juga:  Resep Masak Mudah dan Hemat : Telur Dadar Buncis

Menurut Ketua Tim Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat FIB UI, Dr. Hendra Kaprisma (Dosen Prodi Rusia, Manajer Umum FIB UI) dan anggota pengabdi, Dr. Suma Riella Rusdiarti, S.S., M.Hum, dokumentasi ini diharapkan dapat mengenalkan adat istiadat tanah Sumba kepada audiens yang lebih luas untuk menjaga kelestariannya.

Berita Terkait

spot_img

Berita Terkini

spot_img