Oleh: Prof. Dr. Jamhari Makruf, M.A., Ph.D.
“My journey to Indonesia is not just a physical movement from one country to another. It is a story shaped by loss, fear, resilience and hope,” Sadia Abbassy.
RBN, Opini – Namanya Sadia, dulunya adalah pemilik sebuah perusahaan IT di Kabul yang berkontrak dengan Pemerintah Afghanistan. Walau tak hidup berlebihan, Sadia bisa hidup dengan layak dan bisa membantu sesama warga di Afganistan.
Begitu Taliban berkuasa, ia tak lagi bisa bekerja. Perusahaan IT yang dia bangun dengan susah payah terpaksa harus ditutup. Taliban melarang perempuan bekerja, apalagi menjadi pemimpin sebuah perusahaan. Sadia sangat sedih dan putus asa membayangkan kehidupan di Afghanistan yang tidak lagi memberikan ruang bagi perempuan.
Beruntung dia membaca pengumuman tawaran beasiswa ke Indonesia. Tanpa ragu dia mendaftar berharap bisa bersekolah beberapa tahun untuk menghidupkan semangat hidupnya kembali, sembari menanti perubahan politik pemerintahan Taliban.
Sesampainya di Indonesia dan mulai berkuliah, Sadia tak kuasa menahan tangisnya setiap kali bercerita tentang nasib perempuan di Afganistan.
“Hati saya hancur menyaksikan anak anak perempuan kecil yang dulu dengan wajah ceria berangkat sekolah bersama teman temannya, kini terkurung hanya bisa memandang kosong jendela rumah,” kenang Sadia, dengan suara bergetar, dan mata basah penuh tangis.
Satu kisah lain datang dari Adila Haidari, seorang perempuan dengan karier mapan, hidup bersama keluarga yang harmonis, serta berada dalam lingkungan komunitas yang saling mendukung. Meninggalkan Afganistan merupakan keputusan yang sangat berat baginya.
Meskipun kehidupan di Afganistan penuh tantangan, masyarakatnya tetap menunjukkan ketangguhan dan semangat untuk bertahan, sehingga membuat Adila ragu untuk pergi ke luar negeri.
Namun, ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studi di luar negeri dengan harapan dapat kembali ke Afganistan guna berkontribusi dalam pembangunan negara tersebut. “Today, I stand in a place I once thought I would never reach,” lirih Adila sembari sesekali mengusap air di pipinya.
Walaupun kini berada jauh dari Afganistan, ia menegaskan bahwa negaranya tetap memiliki tempat khusus di hatinya.
Kini, baik Sadia maupun Adila berjuang melanjutkan pendidikan di tanah rantau, membawa harapan besar bahwa suatu saat perempuan Afghanistan dapat kembali bersekolah dan meraih impian mereka.
Mereka berdua percaya bahwa pendidikan adalah keharusan untuk terus menjaga asa tentang sebuah negeri yang damai, aman dan sejahtera bernama Afganistan. Semangat mereka adalah nyala kecil di tengah gelap, menjadi pengingat bahwa harapan tak pernah benar-benar padam selama masih ada keberanian untuk bermimpi dan berjuang.
Lembaga Dana Kerja sama Pembangunan Indonesia (LDKPI) yang dikenal juga dengan sebutan The Indonesian Aid bekerjasama dengan Kedutaan Indonesia di Kabul, dan Agha Khan Foundation di Afghanistan mencari beberapa perempuan Afganistan yang berminat dan mempunyai kualifikasi yang cukup untuk mengambil program Master di Indonesia.
Melalui serangkaian seleksi, termasuk wawancara online, izin dari keluarga dan Pemerintah Taliban, pada tahun 2022 lima perempuan Afghanistan berangkat ke Jakarta Indonesia . Tak mudah ternyata mereka berangkat, karena penerbangan yang sangat terbatas di Kabul.
Bagi mereka yang dekat dengan Kabul beruntung ada penerbangan ke Dubai yang kemudian dilanjutkan ke Jakarta, Indonesia. Tetapi, beberapa yang tinggal di daerah perbatasan Iran, harus naik darat ke Teheran dan kemudian ke Dubai dan Jakarta.
Para calon mahasiswa ini juga harus disertai mahram laki laki (pendamping, red) dari keluarga untuk bisa melakukan perjalanan sampai Indonesia. Para mahram balik kembali ke Afghanistan beberapa hari setelah saudara mereka telah sampai di kampus di mana mereka akan belajar.
Afganistan yang Strategis
Afganistan itu sangat strategis, bukan cuma letaknya di tengah-tengah Asia, tapi juga sejarah dan keberagamannya luar biasa. Negara ini berbatasan langsung dengan Iran, China, Asia Tengah, dan Pakistan.Tidak heran kalau Afganistan sering jadi rebutan negara-negara besar sejak dulu.
Dulu, Afganistan jadi bagian penting dari jalur sutra, jalur perdagangan yang super sibuk dan menghubungkan Asia serta Eropa. Siapa yang menguasai Afganistan, dia bisa mengendalikan perdagangan di wilayah itu. Apalagi, tanah Afganistan menyimpan banyak harta karun seperti litium, besi, dan tembaga. Kekayaan ini bikin Afganistan makin dilirik banyak pihak.
Tapi, kenapa negara sekaya ini justru sering dimasuki, bahkan dikuasai, oleh negara asing?
Salah satu penyebab utamanya adalah konflik etnik yang tidak kunjung selesai. Di Afganistan, ada sekitar 20 kelompok etnik; empat yang terbesar di antaranya adalah Pashtun, Tajik, Hazara, dan Uzbek. Banyak ilmuwan, seperti Oliver Roy dan Rasul Bakhsh Rais, meneliti bahwa konflik antar etnis dan sektarian agama yang masyarakat terpecah dan terbentuknya politik agama yang rumit.
Masalah konflik etnis itu pula jadi celah buat kekuatan asing masuk dan mengacaukan situasi politik dalam negeri.
Mengapa Indonesia membantu Afganistan?
Seorang mahasiswa doktoral di Program Hubungan Internasional, UIII asal Afganistan sedang menulis disertasi mengenai alasan Indonesia memberikan bantuan kepada Afganistan, termasuk pemberian beasiswa pendidikan di Indonesia. Hal ini menjadi topik menarik mengingat kedua negara tidak memiliki kedekatan geografis maupun hubungan kekerabatan etnis yang signifikan.
Hubungan emosional Indonesia dan Afganistan bermula dari solidaritas keislaman, bahwa Indonesia dan Afganistan bagian dari umat Islam. Dulu, ini pula yang dijadikan alasan beberapa Muslim Indonesia untuk ikut berperang di Afganistan melawan Uni Sovyet.
Menurut laporan International Crisis Group (ICG), banyak anggota Jama’ah Islamiah di Indonesia dan Asia Tenggara adalah mantan kombatan Afganistan. Di samping itu beberapa intelektual Muslim dari Afganistan, salah satunya Jamaluddin Al-Afghani, pemikir Gerakan Pan Islamisme, juga banyak dibaca di Indonesia.
Jamaluddin Al-Afgani menyuarakan semangat Pan-Islamisme ketika mengajar di Al-Azhar. Bersama muridnya Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afgani mendirikan komunitas Al-Urwatul Wutsqa (ikatan yang kuat).
Selain itu dalam pembukaan UUD dasar Indonesia 1945 menyatakan, “….bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” merupakan landasan konstitusional politik Indonesia untuk membela kemerdekaan setiap bangsa.
Apalagi Afganistan termasuk salah satu negara yang hadir pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Secara moral politik Indonesia mendorong agar Afganistan bisa menentukan Nasib bangsanya sendiri. Diplomasi Indonesia berprinsip bebas dan aktif, tidak memihak kepada satu blok kekuatan negara, apalagi blok militernya.
Pandangan bebas dan aktif ini pula yang menginspirasi Indonesia bersama beberapa negara untuk mendirikan gerakan Non-Blok. Dalam makna yang luas, politik Bebas dan Aktif sesuai dengan wisdom ketimuran yang berprinsip 1000 kawan terlalu sedikit sementara 1 musuh sudah terlalu banyak. Peduli terhadap masalah Afganistan adalah dalam rangka menerapkan politik bebas aktif Indonesia.
Sindiran Bapak Jusuf Kalla
Pernah suatu hari Bapak Jusuf Kalla ketika menerima tamu Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami bercerita tentang kunjungannya ke Afganistan bertemu dengan beberapa menteri pemerintahan Taliban. Pak JK, panggilan akrab beliau, menanyakan kepada para menteri Taliban alasan teologisnya mengapa perempuan tidak boleh bersekolah.
Kata Menteri itu bahwa larangan perempuan bersekolah datang dari pemimpin tertinggi mereka. Pak JK kemudian menchallenge pendapat itu dengan mengatakan, “kalian mempunyai pendapat bahwa pengobatan kepada pasien perempuan harus dilakukan oleh dokter perempuan. Nah bagaimana perempuan akan bisa mengobati jika Anda larang mereka sekolah untuk menjadi dokter?,” begitu challenge Pak JK yang tidak bisa dibantah.
Apakah benar larangan perempuan belajar datang dari ajaran Islam?
Tidak ditemukan sama sekali dalam Al-Quran atau Hadits ajaran yang melarang perempuan bersekolah. Dalam Seminar dunia tentang Perempuan dan Pendidikan di Pakistan awal tahun2025 yang dihadiri pimpinan Islam dari berbagai aliran pemikiran Islam tidak ada satu pun yang berpendapat bahwa Islam melarang perempuan bersekolah.
Larangan perempuan di beberapa komunitas Muslim didunia lebih karena persoalan budaya lokal atau juga kepentingan elite politik di suatu daerah dan budaya tertentu.
Apa yang dialami oleh perempuan Afganistan yang tidak bisa bersekolah adalah kemunduran peradaban. Terbukti dalam sejarah bahwa kemajuan peradaban ditandai dengan terbukanya akses pengetahuan kepada semua orang, termasuk perempuan.
Memberikan yang sama kepada perempuan untuk mencari ilmu dan bekerja pada dasarnya menambah human resource yang lebih besar. Dalam dunia pendidikan Islam, kita mengenal Fatimah Al-Fihri perempuan pendiri Universitas Al-Qarrawiyyin di Fes Maroko.
Unesco menetapkan Al-Qarrawiyyin sebagai the oldest operating university in the world. Masih banyak lagi cerita muslimah yang berprestasi baik dalam banyak hal. Semoga perempuan Afganistan yang belajar di Indonesia akan menjadi Fatimah Al-Fihri lain di masa depan.
